Dari cerita orang tua, bahwa masuknya islam di tanah bugis makassar itu karena datangnya tiga orang ulama yang berasal dari Koto Tangah, Minangkabau. Diantaranya Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani/Abdul Jawad dengan gelar Khatib Bungsu adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan serta Kerajaan Bima di Nusa Tenggara, sejak kedatangannya pada penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya. Dato ri Tiro, sesuai dengan budaya di bagian selatan ini, kemudian menyebarkan Islam yang lebih bercorak tasawuf. Dalam penerapannya, beliau tidak terlalu mementingkan keteraturan syariat. Salah satu ajaran beliau yang terkenal adalah “dalam menyusun lima telur, yang pertama diletakkan tidak selalu yang menempati urutan pertama”. Artinya, penerapan lima rukun Islam tidak lah harus berurutan mulai dari syahadat sampai haji. Setiap kita boleh memilih apa yang kita rasa lebih memudahkan. Puasa, jika pun dirasakan lebih mudah daripada shalat, dapat dilakukan terlebih dahulu, demikian pula dengan syariat-syariat yang lain.
Perlu disampaikan pula bahwa masyarakat daerah ini sangat kuat memegang kepercayaan dinamisme, dan banyak memiliki kesaktian dan jampi-jampi yang mujarab. Menurut kisah yang diteruskan secara turun temurun, Dato ri Tiro memilih daerah Bontotiro pesisir sebagai pusat penyebaran agama Islam. Daerah ini adalah daerah tandus dan berbatu. Beliau kemudian mencari sumber air (karena ternyata daerah ini dialiri oleh sungai bawah tanah dengan kapasitas yang besar), dengan menancapkan tongkat beliau pada batu dan memancarlah air. Sumber air ini kemudian menganak-sungai, yang kemudian disebut dengan Sungai Salsabila, mengambil nama salah satu sungai yang terdapat di Surga.
Setelah mendapatkan kepercayaan dari seluruh masyarakat di Bontotiro melalui “keajaiban” yang ditampilkannya, beliau kemudian menghadap pada Karaeng Tiro, raja yang berkuasa di daerah ini dengan maksud mengislamkan sang raja. Tapi karena Karaeng Tiro dalam keadaan sakaratul maut, maka Dato ri Tiro langsung menuntun sang raja untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam tiga kali percobaan pengucapan, Karaeng Tiro selalu salah mengucap; “Asyhadu allaa hila hila hilaa”, dan baru pada pengucapan keempat beliau dapat melafazkannya dengan benar. Karena peristiwa ini, dusun tempat tinggal Karaeng Tiro kemudian dinamakan Dusun Hila-Hila. Sampai akhir hayatnya, Dato ri Tiro menghabiskan hidup beliau di dusun ini.
Dato ri Tiro kemudian melanjutkan dakwahnya menuju daerah Kajang. Daerah ini adalah daerah adat yang diperintah oleh Ammatoa. Daerah ini adalah daerah yang paling kuat memegang adat, bahkan hingga hari ini. Para penduduk daerah ini menggunakan pakaian hitam-hitam dan tidak mengijinkan perkembangan teknologi memasuki daerah mereka. Pada proses dakwahnya, Dato ri Tiro kemudian berhasil mengislamkan daerah ini. Tapi karena proses yang belum selesai, ada beberapa kesalahpahaman yang timbul. Salah satunya adalah kepercayaan penduduk Kajang bahwa Al-Qur’an diturunkan pertama kali di daerah ini, karena Dato ri Tiro membawa Kitab Suci Al-Qur’an ke daerah ini pada saat proses dakwah berlangsung. Hal lainnya adalah falsafah sufi yang mereka pegang kuat; “Sambayang tamma tappu, je’ne tamma luka”, yang artinya “Shalat yang tak pernah putus, wudhu yang tak pernah batal”. Hal ini mengisyaratkan penguasaan hakikat shalat dan wudhu yang mensyaratkan kondisi suci lahir-batin serta menyebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Puasa Ramadhan yang mereka jalani pun cuma tiga hari; awal, pertengahan dan akhir ramadhan saja. Hal ini dapat dimaklumi karena mungkin Dato ri Tiro tidak ingin memberatkan mereka pada awal mereka masuk Islam.
Demikianlah, dari dusun Hila-hila di Kecamatan Bontotiro ini, Dato ri Tiro menyebarkan cahaya Islam yang sangat inklusif sehingga ajaran-ajaran beliau tentang Islam yang mensyaratkan kebaikan kepada alam semesta dapat terus diamalkan. Setelah beberapa lama melaksanakan dakwah Islam, akhirnya Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro pun wafat di tanah kajang akan tetapi beliau dimakamkan di bonto tiro. Adapun peninggalan-peninggalan beliau adalah Sungai Salsabila yang terus diziarahi pengunjung sampai sekarang, Sumur Limbua di pantai Tiro, serta Makam Dato ri Tiro yang juga tetap diziarahi sampai hari ini. Peninggalan beliau yang dalam bentuk social capital adalah ikatan persaudaraan yang beliau bentuk antara orang Tiro dan orang Kajang; “Kaluku attimbo ri Kajang, bua na a’dappo ri Tiro”, “Pohon kelapa yang tumbuh di Kajang, buahnya dinikmati di Tiro”. artinya : kebaikan yang dilakukan oleh datuk ritiro menciptakan, memupuk dan mempererat tali persaudaraan antara orang tiro dengan orang kajang.
Karena itu, upacara akil baligh orang-orang kajang disyaratkan untuk mandi di Sungai Salsabila di Hila-hila.
Perlu disampaikan pula bahwa masyarakat daerah ini sangat kuat memegang kepercayaan dinamisme, dan banyak memiliki kesaktian dan jampi-jampi yang mujarab. Menurut kisah yang diteruskan secara turun temurun, Dato ri Tiro memilih daerah Bontotiro pesisir sebagai pusat penyebaran agama Islam. Daerah ini adalah daerah tandus dan berbatu. Beliau kemudian mencari sumber air (karena ternyata daerah ini dialiri oleh sungai bawah tanah dengan kapasitas yang besar), dengan menancapkan tongkat beliau pada batu dan memancarlah air. Sumber air ini kemudian menganak-sungai, yang kemudian disebut dengan Sungai Salsabila, mengambil nama salah satu sungai yang terdapat di Surga.
Setelah mendapatkan kepercayaan dari seluruh masyarakat di Bontotiro melalui “keajaiban” yang ditampilkannya, beliau kemudian menghadap pada Karaeng Tiro, raja yang berkuasa di daerah ini dengan maksud mengislamkan sang raja. Tapi karena Karaeng Tiro dalam keadaan sakaratul maut, maka Dato ri Tiro langsung menuntun sang raja untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam tiga kali percobaan pengucapan, Karaeng Tiro selalu salah mengucap; “Asyhadu allaa hila hila hilaa”, dan baru pada pengucapan keempat beliau dapat melafazkannya dengan benar. Karena peristiwa ini, dusun tempat tinggal Karaeng Tiro kemudian dinamakan Dusun Hila-Hila. Sampai akhir hayatnya, Dato ri Tiro menghabiskan hidup beliau di dusun ini.
Dato ri Tiro kemudian melanjutkan dakwahnya menuju daerah Kajang. Daerah ini adalah daerah adat yang diperintah oleh Ammatoa. Daerah ini adalah daerah yang paling kuat memegang adat, bahkan hingga hari ini. Para penduduk daerah ini menggunakan pakaian hitam-hitam dan tidak mengijinkan perkembangan teknologi memasuki daerah mereka. Pada proses dakwahnya, Dato ri Tiro kemudian berhasil mengislamkan daerah ini. Tapi karena proses yang belum selesai, ada beberapa kesalahpahaman yang timbul. Salah satunya adalah kepercayaan penduduk Kajang bahwa Al-Qur’an diturunkan pertama kali di daerah ini, karena Dato ri Tiro membawa Kitab Suci Al-Qur’an ke daerah ini pada saat proses dakwah berlangsung. Hal lainnya adalah falsafah sufi yang mereka pegang kuat; “Sambayang tamma tappu, je’ne tamma luka”, yang artinya “Shalat yang tak pernah putus, wudhu yang tak pernah batal”. Hal ini mengisyaratkan penguasaan hakikat shalat dan wudhu yang mensyaratkan kondisi suci lahir-batin serta menyebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Puasa Ramadhan yang mereka jalani pun cuma tiga hari; awal, pertengahan dan akhir ramadhan saja. Hal ini dapat dimaklumi karena mungkin Dato ri Tiro tidak ingin memberatkan mereka pada awal mereka masuk Islam.
Demikianlah, dari dusun Hila-hila di Kecamatan Bontotiro ini, Dato ri Tiro menyebarkan cahaya Islam yang sangat inklusif sehingga ajaran-ajaran beliau tentang Islam yang mensyaratkan kebaikan kepada alam semesta dapat terus diamalkan. Setelah beberapa lama melaksanakan dakwah Islam, akhirnya Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro pun wafat di tanah kajang akan tetapi beliau dimakamkan di bonto tiro. Adapun peninggalan-peninggalan beliau adalah Sungai Salsabila yang terus diziarahi pengunjung sampai sekarang, Sumur Limbua di pantai Tiro, serta Makam Dato ri Tiro yang juga tetap diziarahi sampai hari ini. Peninggalan beliau yang dalam bentuk social capital adalah ikatan persaudaraan yang beliau bentuk antara orang Tiro dan orang Kajang; “Kaluku attimbo ri Kajang, bua na a’dappo ri Tiro”, “Pohon kelapa yang tumbuh di Kajang, buahnya dinikmati di Tiro”. artinya : kebaikan yang dilakukan oleh datuk ritiro menciptakan, memupuk dan mempererat tali persaudaraan antara orang tiro dengan orang kajang.
Karena itu, upacara akil baligh orang-orang kajang disyaratkan untuk mandi di Sungai Salsabila di Hila-hila.
0 komentar:
Posting Komentar