Jika sebelumnya saya sudah bercerita
tentang Bulukumba yaitu tentang suku ammatoa. Kali ini saya akan membahas salah
satu ciri khas kota bulukumba yang mungkin namanya sudah mendunia, tak lain
adalah Kapal Phinisi.
Bercerita soal kapal Phinisi memang cukup menarik perhatian kita, apalagi jika bercerita soal sejarah Kapal Phinisi. Berikut adalah sejarah Kapal Phinisi.
Bercerita soal kapal Phinisi memang cukup menarik perhatian kita, apalagi jika bercerita soal sejarah Kapal Phinisi. Berikut adalah sejarah Kapal Phinisi.
BONTOBAHARI berarti “Tanah Laut”,
tempat ini adalah surga bagi para nelayan, mayoritas penduduknya menggantungkan
hidupnya pada laut. Maka, jangan heran tentang kepiawaian penduduk setempat
merakit kapal laut dan kehebatannya dalam membangun tradisi bahari selama
ratusan tahun. Tempat ini berada sekitar 200km dari selatan kota Makassar. Nah,
karena tangan-tangan kreatif inilah, lahir julukan Butta Panrita Lopi (Negeri
para pembuat Perahu).
Kisah
tentang perahu Phinisi dari desa tanah beru dan desa Bira (kec,bontobahari
Bulukumba Sul-sel) adalah sebuah Legenda. Kisah mereka bukanlah sesuatu yang
asing lagi. Namun jarang yang mengetahui tentang bagaimana sejarah dan tradisi
panjang ini dibangun oleh nenek moyang, pun dengan kehebatan Para pelaut ulung
tersebut. Budaya tersebut didasarkan pada penciptaan perahu pertama oleh nenek
moyang mereka.
Alkisah
dalam mitologi masyarakat tanah beru, nenek moyang mereka menciptakan sebuah
perahu yang lebih besar untuk mengarungi lautan, membawa barang-barang dagangan
dan menangkap ikan. Saat perahu pertama dibuat, dilayarkanlah perahu di tengah
laut. Tapi sebuah musibah terjadi di tengah jalan. Ombak dan badai menghantam
perahu dan menghancurkannya. Bagian badan perahu terdampar di dusun ara,
layarnya mendarat di tanjung bira dan isinya mendarat di tanah lemo.
Peristiwa
itu seolah menjadi pesan simbolis bagi masyarakat desa ara. Mereka harus
mengalahkan lautan dengan kerjasama. Sejak kejadian itu, orang ara hanya
mengkhususkan diri sebagai pembuat perahu. Orang bira yang memperoleh sisa
layar perahu mengkhususkan diri belajar perbintangan dan tanda-tanda alam.
Sedangkan orang lemo-lemo adalah pengusaha yang memodali dan menggunakan perahu
tersebut. Tradisi pembagian tugas yang telah berlangsung selama bertahun-tahun
itu akhirnya berujung pada pembuatan sebuah perahu kayu tradisional yang
disebut phinisi.
Kini
keyakinan mistis terhadap mitologi kuno itu masih kental dalam setiap proses
pembuatan phinisi. Diawali dengan sebuah ritual kecil, perahu phinisi dibuat
setelah melalui upacara pemotongan lunas. Upacara itu dipimpin seorang pawang
perahu yang disebut panrita lopi.Berbagai sesaji menjadi syarat yang tak boleh
ditinggalkan dalam upacara ini seperti semua jajanan harus berasa manis dan
seekor ayam jago putih yang masih sehat. Jajanan menimbulkan keinginan dari
pemilik agar perahunya kelak mendatangkan keuntungan yang tinggi. Sedikit darah
dari ayam jago putih ditempelkan ke lunas perahu. Ritual itu sebagai simbol
harapan agar tak ada darah tertumpah di atas perahu yang akan dibuat.
Kemudian,
kepala tukang memotong kedua ujung lunas dan menyerahkan kepada pemimpin
pembuatan perahu. Potongan ujung lunas depan di buang ke laut sebagai tanda
agar perahu bisa menyatu dengan ombak di lautan. Sedang potongan lunas belakang
di buang ke darat untuk mengingatkan agar sejauh perahu melaut maka dia harus
kembali lagi dengan selamat ke daratan. Pada bagian akhir, panrita lopi
mengumandangkan doa-doa ke hadapan sang pencipta.
minta sumber buku bacaannya kk?
BalasHapus