Jika ditanya Afrika Selatan, tentu hingar bingar Piala Dunia 2010 yang melekat dipikiran kita. Selain itu, Nelson Mandela. Ya, Afrika Selatan sebagai negara yang baru 16 tahun “merdeka” dari penindasan ala Apartheid kulit putih sudah mampu menyelenggarakan ajang besar Piala Dunia, yang, walau banyak kekurangan, adalah ajang bergengsi dan menaikkan prestise negara tuan rumah.
Apakah ada Indonesia disana? Sebagai tim yang ikut berlaga, tentu tidak. Namun disana ada Macassar, kampung Makassar-nya Afrika Selatan. Basis penyebaran Agama Islam oleh Syekh Yusuf, Ulama asal Makassar, Sulsel yang dibuang Belanda akibat menentang penjajahan, kurang lebih 300 tahun yang lalu. Di Macassar, ada sebuah tempat yang dinamakan “The Kramat”. The Holy Resting Place of Sheikh Yusuf Al Makassari, semacam kampung atau perkampungan Makassar di Afrika Selatan.
Kiprah Syekh Yusuf tidak diragukan lagi. Walau terbuang, beliau malah menyebarkan keindahan Islam di tanah Afrika. Sebagai pembawa Islam di negeri-nya Nelson Mandela ini, Syekh Yusuf melakukan syi’ar Islam dengan gigih kepada masyarakat setempat. Ketokohan Syekh Yusuf diakui luas oleh penduduk di Afrika Selatan jauh bahkan melebihi Kaum Boer (keturunan Belanda) yang menetap dan tinggal disana, serta membentuk pemerintahan Apartheid yang membedakan Kulit Hitam dengan Kulit Putih. Sesuatu yang didalam Islam tidak pernah ada, yang ada hanyalah pembeda berdasarkan Keimanan dan Ketaqwaan.
Jejak Syekh Yusuf dimulai sejak dilahirkan di Gowa, Sulawesi Selatan, 13 Juli 1627 dengan nama Muhammad Yusuf, diberikan oleh Sultan Alauddin dari Kerajaan Gowa sendiri. Muhammad Yusuf muda diajari ilmu-ilmu keagamaan di Cikoang, dan juga mengembara menimba ilmu diberbagai tempat termasuk berhaji di umur 18 tahun dan menetap sementara di Timur Tengah memperdalam agama Islam. Muhammad Yusuf banyak singgah di Nusantara sesuai rute perkapalan, dan salah satunya adalah ke Banten sebagai kerajaan pesisir dan bersahabat dengan seorang pemuda, putera mahkota Banten, yang kelak bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Perjalanan dakwah beliau juga sampai ke Aceh dan Gujarat, India. Serta berguru di Yaman, Damaskus, dan Turki. Begitu banyak ulama menjadi gurunya, dan di Aceh, beliau langsung menempa ilmu dari Syekh Nuruddin Ar Raniri. Popularitas Yusuf dan lautan intelektualitas beliau dihargai banyak masyarakat dengan sebutan Syekh Yusuf Al Makassari berdasarkan dari asalnya, Makassar. Kadang ada juga yang menambahkan memberikan gelar kehormatan Al Bantani (dari Banten) yang lazim dipakai juru dakwah dan ulama.
Petualangan dakwah Syekh Yusuf mencapai titik tertentu dimana beliau merasa perlu untuk berjihad melawan penjajah di nusantara. Hal ini salah satunya karena kekalahan Gowa melawan penjajah belanda, dan sahabatnya, kini bergelar Sultan Agung Tirtayasa asal banten memerlukan bantuan beliau. Akhirnya, bersama pasukan Banten, Syekh Yusuf yang didaulat menjadi Mufti Banten, turut berjuang menentang penjajahan Belanda di Pulau Jawa. Dipecah belah oleh Belanda, sehingga Sultan Ageng berperang melawan Putranya sendiri, Sultan Haji, dan kalah pada tahun 1682, Syekh Yusuf dan pengikutnya, tentara-santri berjumlah 5000-an orang asal Bugis, Makassar dan pendekar Banten bergerilya selama dua tahun hingga ditangkap Belanda dan dibuang ke Batavia. Karena pengaruhnya yang besar, Syekh Yusuf dibuang lagi ke Sri Lanka (Ceylon). Di Sri Lanka, perjuangan Syekh Yusuf semakin menjadi-jadi. Karena Ceylon merupakan tempat persinggahan jamaah haji, maka Syekh Yusuf masih dapat menjalin komunikasi dengan Nusantara dan para pengikutnya. Para kafilah haji inilah yang membawa karya-karya Syekh Yusuf ke negeri kita
Gabungan ulama intelektual dan pemimpin perang dengan leadership tinggi, Syekh Yusuf dibuang ke negeri yang lebih jauh, agar pengaruhnya hilang di Asia. Syeikh Yusuf beserta rombongan pengikutnya berjumlah hampir lima puluh orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog, yang mana Kapten Kapal tersebut, Van Beuren, kebangsaan Belanda, pun di-Islamkan oleh beliau dan ikut menetap di Afrika Selatan bersama keturunannya yang muslim.
Syeikh Yusuf al-Makassari di tempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Disana, Syeikh Yusuf al-Makassari membangun pemukiman di Cape Town yang sekarang dikenal sebagai Macassar.
Di Afrika Selatan, Syeikh Yusuf al-Makassari tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699 beliau dimakamkan di Faure, Cape Town. Berdasarkan catatan juru kunci makam, berita meninggalnya Syekh Yusuf beredar luas, termasuk ke tanah Goa (sekarang Gowa). Pihak kerajaan dan bangsawan Gowa pun memulangkan jenazah wali Allah tersebut.
Proses pemulangan jenazah Syekh Yusuf bukan perkara mudah. Pasalnya, kata Rahmat, pemulangan itu tidak mendapat restu dari pemerintah Kompeni. "Masih ada ketakutan dari penjajah akan munculnya semangat perlawanan dari Nusantara jika dipulangkan," kata Rahmat.
Negosiasi pemulangan jenazah Syekh Yusuf yang dilakukan oleh Raja Gowa, Sultan Abdul Jalil, berhasil enam tahun kemudian, atau tepatnya tahun 1705. Itupun, konon, ada syarat yang harus dipenuhi: yang bisa kembali ke Nusantara adalah anak-anaknya yang berusia lima tahun ke bawah.
Dalam perjalanan pulang itulah, jenazah Syekh Yusuf sempat disinggahkan di beberapa tempat, seperti Sri Lanka, Banten, Sumenep (Madura), terakhir di Makassar. Daerah-daerah itu dikenal banyak tinggal murid dan pengikut tarekat Khalwatiyah.
"Di setiap daerah yang disinggahi, maka para pengikut dan murid berinisiatif membuat makam sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan. Makanya makam Syekh Yusuf itu diyakini di beberapa tempat," jelas Rahmat.
Ia juga meyakinkan, bahwa jasad yang asli itu berada di Makassar. Sedangkan makam di Sri Lanka, itu berupa jubah dan sorban, di Banten, yang dimakamkan adalah tasbih, dan makam di Sumenep, juga berupa jubah dan sorban.
"Kalau di Afrika itu ditegaskan sebagai makam awalnya sebelum dipindahkan ke Makassar," tambahnya.
Sebagai pelabuhan terakhir, Syekh Yusuf kini dimakamkan di Lakiung, atau saat ini lebih dikenal dengan Ko'bang, yang berada di Jalan Syekh Yusuf, perbatasan Gowa dan Makassar.
Saat ini, makam wali besar Sulawesi Selatan ini sungguh sangat dihormati, dihargai, dan dijaga keberadaanya. Setiap harinya, makam tersebut ramai dikunjungi masyarakat, yang berasal dari penjuru dunia.
Kedatangan warga tersebut adalah untuk berziarah, semata-mata mengharap keramat dari almarhum Syekh Yusuf. Apalagi jika mereka meniatkan sesuatu serta ada keinginan dan harapan yang tercapai, seperti nazar.
Dalam sejarahnya, Syekh Yusuf merupakan pendiri ajaran tarekat khalwatiyah. Kemudian, Syekh Yusuf juga berhasil mendapat dua penghargaan sebagai pahlawan nasional dari Indonesia pada 9 November 1996 dan dari pemerintah Afrika Selatan pada 23 September 2005.
"Afrika Selatan memang sangat berterima kasih pada Syekh Yusuf karena ajaran Islam di sana yang tidak membedakan warna kulit. Dia di sana bahkan digelar As-salam,".
Makam Syekh Yusuf berada dalam sebuah kompleks. Untuk menandai makam tersebut, dibangun sebuah kubah, dikenal dengan Ko'bang, berukuran 11 x 11 meter persegi. Dalam kubah tersebut terdapat 11 makam termasuk Syekh Yusuf. Sedangkan lainnya adalah istri dari Sultan Gowa, I Sitti Daeng Nisanga, yang berada di sisi kiri dan Raja Gowa, Sultan Abdul Jalil, yang berperan besar memulangkan jenazah Syekh Yusuf.
Sembilan makam lainnya adalah pengikut dan kerabat dari Syekh Yusuf, yang masing-masing bernama Mappadulung Daeng Mattimung, Karaengta Panaikang, Syekh Abd. Basyir, Tuang Loeta, I Lakiung, Tanri Daeng, Tanri Uleng, Tanri Abang dan Daeng Ritasammeng
Makam tersebut kini menjadi cagar budaya yang harus dipeliharan karena dilindungi Undang-undang.