Melalui pasang,
masyarakat Ammatoa menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan komponen
dari suatu sistem yang saling terkait secara sistemis; Turiek Akrakna (Tuhan),
Pasang, Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah yang telah diberikan
oleh Turiek Akrakna kepada leluhur mereka. Merawat hutan, bagi
masyarakat Kajang merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan
merupakan bagian dari tanah yang diberikan oleh Turiek Akrakna kepada
leluhur Suku Kajang. Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapat kekuatan gaib
yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana ketika tidak
dijaga kelestariannya. Kekuatan itu berasal dari arwah leluhur masyarakat
Kajang yang senantiasa menjaga kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat
jahat manusia. Jika ada orang yang berani merusak kawasan hutan, misalnya
menebang pohon dan membunuh hewan yang ada di dalamnya, maka arwah para leluhur
tersebut akan menurunkan kutukan. Kutukan itu dapat berupa penyakit yang
diderita oleh orang yang bersangkutan, atau juga dapat mengakibatkan
berhentinya air yang mengalir di lingkungan Tanatoa Kajang. Tentang hal
ini, sebuah pasang menjelaskan:
Naparanakkang
juku
Napaloliko raung kaju
Nahambangiko allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolorang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Artinya:
Ikan
bersibak,
pohon-pohon
bersemi,
Matahari bersinar,
hujan
turun,
Air Tuak menetes,
segala tanaman menjadi subur.
Pasang
di atas merupakan gambaran bagaimana
masyarakat Kajang menghormati lingkungannya dengan cara menjaga hutan agar
tetap lestari. Bagi orang Kajang, tetap terjaganya kelestarian hutan juga
merupakan petanda bahwa Ammatoa yang terpilih diterima oleh Turiek
Akrakna dan alam. Ammatoa dianggap telah berhasil
mengimplementasikan ajaran-ajaran pasang sebagaimana dititahkan oleh Turiek
Akrakna. Terlepas dari benar-salahnya ajaran yang diyakini masyarakat
Kajang, yang pasti konstruksi mereka tentang hutan yang bersifat sakral
tersebut tidak dapat disangkal telah berperan besar dalam menjaga tetap lestarinya
kawasan hutan mereka.
Berbicara
tentang kearifan ekologis yang dipraktekkan oleh masyarakat Kajang, kita tidak
dapat melepaskannya dari sebuah prinsip hidup yang disebut tallase
kamase-mase, bagian dari pasang yang secara eksplisit memerintahkan
masyarakat Kajang untuk hidup secara sederhana dan bersahaja. Secara harfiah, tallase
kamase-mase berarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas, dalam arti
bahwa tujuan hidup warga masyarakat Kajang menurut pasang adalah
semata-mata mengabdi kepada Turek Akrakna. Prinsip tallase
kamase-mase, berarti tidak mempunyai keinginan yang berlebih dalam
kehidupan sehari-hari, baik untuk makan, maupun dalam kebutuhan pakaiannya.
Dengan cara yang demikian, maka keinginan mendapatkan hasil berlebihan dari
dalam hutan dapat dihindari, setidak-tidaknya dapat ditekan seminimal
mungkin, sehingga hutan tidak terganggu kelestariannya.
Secara lebih jelas tallase
kamase-mase ini tercermin dalam pasang sebagai berikut:
- Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase,
adakkako nu kamase-mase, ameako nu kamase-mase artinya; berdiri engkau sederhana, duduk engkau
sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana.
- Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea,
angnganre na rie, care-care na rie, pammalli juku na rie, koko na rie,
bola situju-tuju. Artinya;
Kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya,
pakaian secukupnya, membeli ikan secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya.
- Jagai lino lollong bonena, kammayatompa langika, rupa
taua siagang boronga.
Artinya; Peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia
dan hutan.
Pasang
ini mengajarkan nilai kebersahajaan
bagi seluruh warga masyarakat Kajang, tak terkecuali Ammatoa, pemimpin
tertinggi adat Kajang. Hal ini dapat dipandang sebagai filosofi hidup mereka yang
menempatkan langit, dunia, manusia dan hutan, sebagai satu kesatuan yang tak
terpisahkan dalam suatu ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya.
Masyarakat adat Kajang sangat
konsisten memegang teguh prinsip tallase kamase-mase ini. Hal ini dapat
dilihat dari cara mereka mengimplementasikannya dalam praktek hidup sehari-hari
sebagai berikut:
- Bentuk rumah yang seragam, seragam bahannya, seragam
besarnya, dan sedapat mungkin seragam arah bangunannya. Keseragaman itu
bermaksud menghindari saling iri di kalangan mereka, yang dapat berakibat
pada keinginan memperoleh hasil lebih banyak dengan cara merusak hutan.
- Larangan membangun rumah dengan bahan bakunya
batu-bata. Menurut pasang, hal ini adalah pantangan, karena
hanya orang mati yang telah berada di dalam liang lahat yang diapit oleh
tanah. Rumah yang bahan bakunya berasal dari batu-bata, meskipun
penghuninya masih hidup namun secara prinsip mereka dianggap sudah mati,
karena sudah dikelilingi oleh tanah. Apabila diperhatikan hal tersebut
lebih jauh, maka sebenarnya pantangan yang demikian bersangkut-paut dengan
pelestarian hutan. Bukankah untuk membuat batu-bata, diperlukan bahan
bakar kayu, karena proses pembakaran batu-bata memerlukan kayu bakar yang
cukup banyak. Dengan pantangan itu sebenarnya memberikan perlindungan pada
bahan bakar kayu yang sumber utamanya berasal dari hutan.
- Memakai pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam untuk
pakaian (baju, sarung) adalah wujud kesamaan dalam segala hal,
termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Menurut pasang, tidak ada
warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua
hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian (baju dan sarung) menandakan
adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turek Akrakna. Kesamaan
bukan hanya dalam wujud lahir, akan tetapi juga dalam menyikapi keadaan
lingkungan, utamanya hutan mereka, sehingga dengan kesederhanaan yang
demikian, tidak memungkinkan memikirkan memperoleh sesuatu yang berlebih
dari dalam hutan mereka. Dengan demikian hutan akan tetap terjaga kelestariannya.
Selain
ajaran tallase kamasa-mase, masyarakat adat Kajang juga memiliki
mekanisme lain untuk menjaga kelestarian hutan mereka, yaitu dengan cara
menetapkan kawasan hutan menjadi tiga bagian di mana setiap bagian memiliki
fungsi dan makna yang berbeda bagi masyarakat adat. Ketetapan ini langsung
dibuat oleh Ammatoa.
Adapun tiga kawasan hutan tersebut sebagai berikut:
1. Borong Karamaka
atau hutan keramat, yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis
kegiatan, kecuali upacara-upacara adat. Kawasan ini harus steril dari kegiatan
penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, pemanfaatan flora dan fauna yang
ada di dalamnya, ataupun kunjungan selain pelaksanaan upacara adat. Kawasan borong
karamaka ini begitu sakral bagi masyarakat Kajang karena adanya keyakinan
bahwa hutan ini adalah tempat tinggal para leluhur orang Kajang. Hal ini
diungkapkan secara jelas dalam sebuah pasang, yaitu: Talakullei
nisambei kajua, Iya minjo kaju timboa. Talakullei nitambai nanikurangi borong
karamaka. Kasipalli tauwa alamung-lamung ri boronga, Nasaba sere wattu la
rie tau angngakui bate lamunna (Artinya: Tidak bisa diganti kayunya, itu
saja kayu yang tumbuh. Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu.
Orang dilarang menanam di dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang
mengakui bekas tanamannya.
2.
Barong
Batasayya atau hutan perbatasan. Hutan ini
merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu
masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Jadi
keputusan akhir boleh tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini
tergantung dari Ammatoa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini hanya
diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Ammatoa yang
tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.
3.
Borong
Luara atau hutan rakyat. Hutan ini
merupakan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan
jenis ini dikuasai oleh rakyat, namun aturan-aturan adat mengenai pengelolaan
hutan di kawasan ini tetap masih berlaku. Ammatoa melarang setiap praktek
kesewenang-wenangan dalam memanfaatkan sumberdaya yang terdapat dalam hutan
rakyat ini.
Agar ketiga kawasan hutan tersebut
tetap mampu memerankan fungsinya masing-masing, Ammatoa akan memberikan
sangsi kepada siapapun yang melanggar ketentuan yang telah dibuatnya itu.
Sangsi yang diberikan tidaklah sama, tergantung di kawasan hutan mana orang
yang bersangkutan melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan di hutan
keramat akan mendapatkan sanksi yang paling berat.
Maka
dari itu marilah kita agar selalu menjaga kelestarian budaya kita bukan cuma
didaerah kajang saja tetapi semua budaya-budaya yang ada didunia dengan menanam
kembali hutan-hutan yang telah gundul dan tidak melakukan penebangan pohon
secara liar. Agar kelak anak cucu kita juga ikut merasakan bagaimana rasanya
udara segar itu.