Selasa, 10 September 2013

Lihat Sebelumnya 




Melalui pasang, masyarakat Ammatoa menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan komponen dari suatu sistem yang saling terkait secara sistemis; Turiek Akrakna (Tuhan), Pasang, Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah yang telah diberikan oleh Turiek Akrakna kepada leluhur mereka. Merawat hutan, bagi masyarakat Kajang merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan merupakan bagian dari tanah yang diberikan oleh Turiek Akrakna kepada leluhur Suku Kajang. Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapat kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana ketika tidak dijaga kelestariannya. Kekuatan itu berasal dari arwah leluhur masyarakat Kajang yang senantiasa menjaga kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat jahat manusia. Jika ada orang yang berani merusak kawasan hutan, misalnya menebang pohon dan membunuh hewan yang ada di dalamnya, maka arwah para leluhur tersebut akan menurunkan kutukan. Kutukan itu dapat berupa penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan, atau juga dapat mengakibatkan berhentinya air yang mengalir di lingkungan Tanatoa Kajang. Tentang hal ini, sebuah pasang menjelaskan:
Naparanakkang juku
Napaloliko raung kaju
Nahambangiko allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo‘rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Artinya:
Ikan bersibak,
pohon-pohon bersemi,
Matahari bersinar,
hujan turun,
Air Tuak menetes,
segala tanaman menjadi subur.
Pasang di atas merupakan gambaran bagaimana masyarakat Kajang menghormati lingkungannya dengan cara menjaga hutan agar tetap lestari. Bagi orang Kajang, tetap terjaganya kelestarian hutan juga merupakan petanda bahwa Ammatoa yang terpilih diterima oleh Turiek Akrakna dan alam. Ammatoa dianggap telah berhasil mengimplementasikan ajaran-ajaran pasang sebagaimana dititahkan oleh Turiek Akrakna. Terlepas dari benar-salahnya ajaran yang diyakini masyarakat Kajang, yang pasti konstruksi mereka tentang hutan yang bersifat sakral tersebut tidak dapat disangkal telah berperan besar dalam menjaga tetap lestarinya kawasan hutan mereka.
Berbicara tentang kearifan ekologis yang dipraktekkan oleh masyarakat Kajang, kita tidak dapat melepaskannya dari sebuah prinsip hidup yang disebut tallase kamase-mase, bagian dari pasang yang secara eksplisit memerintahkan masyarakat Kajang untuk hidup secara sederhana dan bersahaja. Secara harfiah, tallase kamase-mase berarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas, dalam arti bahwa tujuan hidup warga masyarakat Kajang menurut pasang adalah semata-mata mengabdi kepada Turek Akrakna. Prinsip tallase kamase-mase, berarti tidak mempunyai keinginan yang berlebih dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk makan, maupun dalam kebutuhan pakaiannya. Dengan cara yang demikian, maka keinginan mendapatkan hasil berlebihan dari dalam hutan dapat dihindari, setidak-tidaknya dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga hutan tidak terganggu kelestariannya.
Secara lebih jelas tallase kamase-mase ini tercermin dalam pasang sebagai berikut:
  • Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a‘dakkako nu kamase-mase, a‘meako nu kamase-mase artinya; berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana.
  • Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea, angnganre na rie, care-care na rie, pammalli juku na rie, koko na rie, bola situju-tuju. Artinya; Kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya, membeli ikan secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya.
  • Jagai lino lollong bonena, kammayatompa langika, rupa taua siagang boronga. Artinya; Peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan.
Pasang ini mengajarkan nilai kebersahajaan bagi seluruh warga masyarakat Kajang, tak terkecuali Ammatoa, pemimpin tertinggi adat Kajang. Hal ini dapat dipandang sebagai filosofi hidup mereka yang menempatkan langit, dunia, manusia dan hutan, sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam suatu ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya.
Masyarakat adat Kajang sangat konsisten memegang teguh prinsip tallase kamase-mase ini. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka mengimplementasikannya dalam praktek hidup sehari-hari sebagai berikut:
  • Bentuk rumah yang seragam, seragam bahannya, seragam besarnya, dan sedapat mungkin seragam arah bangunannya. Keseragaman itu bermaksud menghindari saling iri di kalangan mereka, yang dapat berakibat pada keinginan memperoleh hasil lebih banyak dengan cara merusak hutan.
  • Larangan membangun rumah dengan bahan bakunya batu-bata. Menurut pasang, hal ini adalah pantangan, karena hanya orang mati yang telah berada di dalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya berasal dari batu-bata, meskipun  penghuninya masih hidup namun secara prinsip mereka dianggap sudah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah. Apabila diperhatikan hal tersebut lebih jauh, maka sebenarnya pantangan yang demikian bersangkut-paut dengan pelestarian hutan. Bukankah untuk membuat batu-bata, diperlukan bahan bakar kayu, karena proses pembakaran batu-bata memerlukan kayu bakar yang cukup banyak. Dengan pantangan itu sebenarnya memberikan perlindungan pada bahan bakar kayu yang sumber utamanya berasal dari hutan.
  • Memakai pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam untuk pakaian (baju, sarung)  adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Menurut pasang, tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian (baju dan sarung) menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turek Akrakna. Kesamaan bukan hanya dalam wujud lahir, akan tetapi juga dalam menyikapi keadaan lingkungan, utamanya hutan mereka, sehingga dengan kesederhanaan yang demikian, tidak memungkinkan memikirkan memperoleh sesuatu yang berlebih dari dalam hutan mereka. Dengan demikian hutan akan tetap terjaga kelestariannya.
Selain ajaran tallase kamasa-mase, masyarakat adat Kajang juga memiliki mekanisme lain untuk menjaga kelestarian hutan mereka, yaitu dengan cara menetapkan kawasan hutan menjadi tiga bagian di mana setiap bagian memiliki fungsi dan makna yang berbeda bagi masyarakat adat. Ketetapan ini langsung dibuat oleh Ammatoa.
Adapun  tiga kawasan hutan tersebut sebagai berikut:
1.      Borong Karamaka atau hutan keramat, yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, kecuali upacara-upacara adat. Kawasan ini harus steril dari kegiatan penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, pemanfaatan flora dan fauna yang ada di dalamnya, ataupun kunjungan selain pelaksanaan upacara adat. Kawasan borong karamaka ini begitu sakral bagi masyarakat Kajang karena adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat tinggal para leluhur orang Kajang. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah pasang, yaitu: “Talakullei nisambei kajua, Iya minjo kaju timboa. Talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka. Kasipalli tauwa a‘lamung-lamung ri boronga, Nasaba‘ se‘re wattu la rie‘ tau angngakui bate lamunna” (Artinya: Tidak bisa diganti kayunya, itu saja kayu yang tumbuh. Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu. Orang dilarang menanam di dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.

2.      Barong Batasayya atau hutan perbatasan. Hutan ini merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir boleh tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Ammatoa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Ammatoa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.

3.      Borong Luara‘ atau hutan rakyat. Hutan ini merupakan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, namun aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini tetap masih berlaku. Ammatoa melarang setiap praktek kesewenang-wenangan dalam memanfaatkan sumberdaya yang terdapat dalam hutan rakyat ini.  
Agar ketiga kawasan hutan tersebut tetap mampu memerankan fungsinya masing-masing, Ammatoa akan memberikan sangsi kepada siapapun yang melanggar ketentuan yang telah dibuatnya itu. Sangsi yang diberikan tidaklah sama, tergantung di kawasan hutan mana orang yang bersangkutan melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan di hutan keramat akan mendapatkan sanksi yang paling berat.
            Maka dari itu marilah kita agar selalu menjaga kelestarian budaya kita bukan cuma didaerah kajang saja tetapi semua budaya-budaya yang ada didunia dengan menanam kembali hutan-hutan yang telah gundul dan tidak melakukan penebangan pohon secara liar. Agar kelak anak cucu kita juga ikut merasakan bagaimana rasanya udara segar itu. 
Karena ada sebuah prinsip yang mengatakan Satu Pohon Sama Dengan Satu Manusia.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar