Jumat, 13 September 2013


Jika sebelumnya saya sudah bercerita tentang Bulukumba yaitu tentang suku ammatoa. Kali ini saya akan membahas salah satu ciri khas kota bulukumba yang mungkin namanya sudah mendunia, tak lain adalah Kapal Phinisi.
Bercerita soal kapal Phinisi memang cukup menarik perhatian kita, apalagi jika bercerita soal sejarah Kapal Phinisi.  Berikut adalah sejarah Kapal Phinisi.
BONTOBAHARI berarti “Tanah Laut”, tempat ini adalah surga bagi para nelayan, mayoritas penduduknya menggantungkan hidupnya pada laut. Maka, jangan heran tentang kepiawaian penduduk setempat merakit kapal laut dan kehebatannya dalam membangun tradisi bahari selama ratusan tahun. Tempat ini berada sekitar 200km dari selatan kota Makassar. Nah, karena tangan-tangan kreatif inilah, lahir julukan Butta Panrita Lopi (Negeri para pembuat Perahu).
 Kisah tentang perahu Phinisi dari desa tanah beru dan desa Bira (kec,bontobahari Bulukumba Sul-sel) adalah sebuah Legenda. Kisah mereka bukanlah sesuatu yang asing lagi. Namun jarang yang mengetahui tentang bagaimana sejarah dan tradisi panjang ini dibangun oleh nenek moyang, pun dengan kehebatan Para pelaut ulung tersebut. Budaya tersebut didasarkan pada penciptaan perahu pertama oleh nenek moyang mereka.
Alkisah dalam mitologi masyarakat tanah beru, nenek moyang mereka menciptakan sebuah perahu yang lebih besar untuk mengarungi lautan, membawa barang-barang dagangan dan menangkap ikan. Saat perahu pertama dibuat, dilayarkanlah perahu di tengah laut. Tapi sebuah musibah terjadi di tengah jalan. Ombak dan badai menghantam perahu dan menghancurkannya. Bagian badan perahu terdampar di dusun ara, layarnya mendarat di tanjung bira dan isinya mendarat di tanah lemo.
Peristiwa itu seolah menjadi pesan simbolis bagi masyarakat desa ara. Mereka harus mengalahkan lautan dengan kerjasama. Sejak kejadian itu, orang ara hanya mengkhususkan diri sebagai pembuat perahu. Orang bira yang memperoleh sisa layar perahu mengkhususkan diri belajar perbintangan dan tanda-tanda alam. Sedangkan orang lemo-lemo adalah pengusaha yang memodali dan menggunakan perahu tersebut. Tradisi pembagian tugas yang telah berlangsung selama bertahun-tahun itu akhirnya berujung pada pembuatan sebuah perahu kayu tradisional yang disebut phinisi.
Kini keyakinan mistis terhadap mitologi kuno itu masih kental dalam setiap proses pembuatan phinisi. Diawali dengan sebuah ritual kecil, perahu phinisi dibuat setelah melalui upacara pemotongan lunas. Upacara itu dipimpin seorang pawang perahu yang disebut panrita lopi.Berbagai sesaji menjadi syarat yang tak boleh ditinggalkan dalam upacara ini seperti semua jajanan harus berasa manis dan seekor ayam jago putih yang masih sehat. Jajanan menimbulkan keinginan dari pemilik agar perahunya kelak mendatangkan keuntungan yang tinggi. Sedikit darah dari ayam jago putih ditempelkan ke lunas perahu. Ritual itu sebagai simbol harapan agar tak ada darah tertumpah di atas perahu yang akan dibuat.
Kemudian, kepala tukang memotong kedua ujung lunas dan menyerahkan kepada pemimpin pembuatan perahu. Potongan ujung lunas depan di buang ke laut sebagai tanda agar perahu bisa menyatu dengan ombak di lautan. Sedang potongan lunas belakang di buang ke darat untuk mengingatkan agar sejauh perahu melaut maka dia harus kembali lagi dengan selamat ke daratan. Pada bagian akhir, panrita lopi mengumandangkan doa-doa ke hadapan sang pencipta.

Categories:

1 komentar: